Menu

Beranda/Keuangan/Bank Mandiri dan BCA Hadapi Tantangan Likuiditas Valas di Tengah Gejolak Global

Bank Mandiri dan BCA Hadapi Tantangan Likuiditas Valas di Tengah Gejolak Global

(Diperbarui: 14 April 2025)
SW
Sandika Wijaya
Rusdimedia.com
Bank Mandiri dan BCA Hadapi Tantangan Likuiditas Valas di Tengah Gejolak Global

Jakarta, 15 April 2025 – Likuiditas valuta asing (valas) menjadi tantangan utama bagi perbankan Indonesia di tengah gejolak ekonomi global, terutama pasca-pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini memicu volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, mendorong bank-bank nasional untuk mengoptimalkan strategi pendanaan dan manajemen risiko.

Strategi Bank Mandiri: Diversifikasi Pendanaan dan Kinerja Positif

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) menyatakan bahwa kecukupan likuiditas valas dapat dipertahankan melalui pengelolaan yang prudent dan fleksibel. Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara, mengungkapkan bahwa strategi ini didukung oleh diversifikasi sumber dana yang solid.

“Bank Mandiri memiliki berbagai alternatif pendanaan, baik melalui penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas maupun pendanaan non-DPK seperti wholesale funding, transaksi bilateral, club deal, atau penerbitan surat utang,” jelas Ashidiq kepada Bisnis, Senin (14/4/2025).

Kinerja intermediasi Bank Mandiri di sektor valas menunjukkan tren positif pada akhir 2024, dengan pertumbuhan kredit valas sebesar 10,12% (year-on-year/YoY). Pertumbuhan ini didorong oleh pembiayaan nasabah global, terutama pelaku usaha yang membutuhkan eksposur valas. Di sisi pendanaan, Bank Mandiri mencatat pertumbuhan 5,92% (YoY), dengan transaksi dominan berasal dari trade finance dan treasury.

Baru-baru ini, Bank Mandiri menerbitkan Euro Medium Term Note (EMTN) senilai US$800 juta pada 24 Maret 2025, yang akan digunakan untuk pengembangan bisnis perseroan.

BCA Fokus pada Fundamental dan Manajemen Risiko

Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) atau BCA memilih pendekatan berbasis fundamental bisnis untuk menghadapi dampak kebijakan tarif AS. EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, menyatakan bahwa bank ini mempertahankan posisi permodalan dan likuiditas yang solid, serta menjaga pertumbuhan kredit yang berkelanjutan.

“BCA mengelola risiko eksposur valas dengan menjaga rasio Posisi Devisa Neto (PDN) secara konservatif,” ujar Hera. PDN BCA per Desember 2024 tercatat sebesar 0,3%, jauh di bawah batas maksimum 20% yang ditetapkan regulator.

BCA juga menyiapkan langkah antisipasi risiko nilai tukar dan suku bunga, termasuk penetapan limit risiko pasar dan pelaksanaan stress test. Pencadangan loan at risk (LAR) BCA mencapai 76,9%, salah satu yang tertinggi di industri, sementara pencadangan nonperforming loan (NPL) berada di level 208,5%.

Ancaman Pelemahan Rupiah dan Respons Otoritas

Pengamat perbankan Arianto Muditomo mengingatkan bahwa kebijakan proteksionis AS memicu ketegangan dagang global dan aliran modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. “Pelemahan rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan inflasi, serta risiko kredit bagi debitur berbasis impor,” katanya.

Head of Research LPPI, Trioksa Siahaan, menambahkan bahwa potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) perlu diimbangi dengan langkah strategis, seperti stimulus likuiditas atau kebijakan makroprudensial. “Restrukturisasi seperti era pandemi bisa menjadi opsi, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi,” ujarnya.

Dengan tantangan yang kompleks, bank-bank nasional dituntut untuk terus memperkuat ketahanan likuiditas dan manajemen risiko guna menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian global. (***)

Bagaimana reaksi Anda?

Tinggalkan Komentar