Bulan, satelit alami Bumi yang selama ini menjadi objek eksplorasi ilmiah dan mimpi para astronom, kini menjadi sorotan karena potensi ekonominya yang luar biasa. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Bulan mengandung sumber daya alam dengan nilai fantastis, diperkirakan lebih dari US$1 triliun atau sekitar Rp 16.200 triliun.
Bulan Mengandung Harta Karun Senilai Rp 16.200 Triliun, Bisakah Ditambang Secara Legal?

Penemuan mengejutkan ini berasal dari riset yang dilakukan oleh peneliti independen Jayanth Chennamangalam bersama timnya. Dalam laporan yang dikutip dari Futurism, Jumat (13/6), disebutkan bahwa sekitar 6.500 dari 1.300 kawah di permukaan Bulan tercipta akibat tumbukan asteroid yang mengandung logam mulia, termasuk platinum.
Bukan Sekadar Kekayaan, Tapi Kunci Eksplorasi Antariksa
Lebih dari sekadar nilai ekonomi, temuan ini membuka peluang strategis baru bagi masa depan eksplorasi antariksa. Menurut Chennamangalam, hasil penambangan sumber daya di Bulan tidak hanya bernilai tinggi, tetapi juga berpotensi menjadi kunci pendanaan eksplorasi tata surya yang lebih luas.
“Saat ini, penelitian luar angkasa sepenuhnya bergantung pada anggaran negara dan dana pembayar pajak. Itu membuatnya sangat tergantung pada arah kebijakan politik,” ujar Chennamangalam.
Ia menambahkan, jika eksplorasi antariksa dapat dimonetisasi—dengan memanfaatkan sumber daya dari Bulan atau asteroid—maka pintu investasi dari sektor swasta bisa terbuka lebar.
“Jika kita bisa memonetisasi sumber daya luar angkasa, perusahaan swasta akan lebih terdorong untuk berinvestasi dalam penjelajahan tata surya,” jelasnya.
Legalitas Tambang di Bulan Masih Mengambang
Namun, satu pertanyaan krusial pun muncul: apakah eksploitasi tambang di Bulan legal?
Hingga kini, belum ada regulasi internasional yang secara tegas mengatur eksploitasi sumber daya luar angkasa untuk kepentingan komersial. Satu-satunya acuan hukum internasional yang berlaku adalah Outer Space Treaty atau Perjanjian Luar Angkasa yang ditandatangani pada 1967.
Perjanjian itu melarang negara mana pun mengklaim kepemilikan atas benda-benda langit seperti Bulan atau asteroid. Namun, para ahli menilai masih terdapat celah hukum yang memungkinkan eksplorasi tetap dilakukan. Salah satunya adalah kemungkinan pemberian lisensi oleh pemerintah untuk mengekstraksi sumber daya, tanpa harus mengklaim wilayah antariksa secara langsung.
Artemis Accords: Aturan Sukarela Tanpa Kekuatan Hukum
Sebagai respons terhadap berkembangnya aktivitas luar angkasa, termasuk oleh entitas swasta, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkenalkan Artemis Accords, seperangkat prinsip sukarela untuk tata kelola eksplorasi ruang angkasa.
Namun, dokumen ini tidak bersifat mengikat dan tidak memiliki kewenangan hukum untuk menegakkan aturan yang ditetapkannya. Artemis Accords lebih berfungsi sebagai panduan etis dan diplomatis bagi negara-negara peserta, serta mendorong transparansi dalam kegiatan antariksa.
Dalam salah satu pasalnya, Artemis Accords mendorong agar setiap kegiatan, baik oleh badan antariksa negara maupun perusahaan swasta, dilakukan dengan tujuan ilmiah, terbuka, dan bertanggung jawab. Prinsip ini juga mencakup kegiatan penambangan sumber daya.
“Artemis Accords terinspirasi oleh semangat dari Perjanjian Luar Angkasa 1967, namun tetap membuka peluang bagi aktivitas ekstraksi dengan prinsip transparansi dan kolaborasi,” tulis laporan Futurism.
Menuju Era Tambang Antariksa: Impian atau Ancaman?
Dengan nilai ekonomi yang menjulang tinggi dan potensi untuk membiayai misi antariksa jangka panjang, penambangan di Bulan bukan lagi sekadar fiksi ilmiah. Namun, pertanyaannya sekarang bukan hanya soal mampu atau tidak, melainkan siapa yang berhak dan bagaimana aturan mainnya.
Tanpa kerangka hukum internasional yang tegas dan disepakati bersama, eksploitasi sumber daya di Bulan bisa memicu konflik geopolitik baru. Apakah Bulan akan menjadi ajang perebutan sumber daya berikutnya di luar Bumi?
Yang jelas, dunia kini tengah mengarah ke babak baru eksplorasi ruang angkasa—bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk ekonomi global di masa depan. (***)