Serangan militer Israel terhadap fasilitas nuklir Iran baru-baru ini memicu lonjakan harga minyak global dan dikhawatirkan mengganggu rencana pemotongan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed). Para ekonom menilai situasi geopolitik ini menambah ketidakpastian terhadap dinamika inflasi yang tengah diawasi ketat oleh The Fed.
Lonjakan Harga Minyak Akibat Serangan Israel Bisa Ganggu Rencana Pemotongan Suku Bunga The Fed

Mengutip laporan Bloomberg, harga minyak naik tajam pada Jumat (13/6), menyentuh level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir. Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran pasar akan potensi terganggunya pasokan minyak global akibat konflik di Timur Tengah.
Kepala Ekonom RSM US LLP, Joseph Brusuelas, menyatakan bahwa lonjakan harga minyak merupakan reaksi pasar terhadap risiko gangguan besar di pasar energi dunia. Ia memperkirakan tekanan inflasi akan meningkat seiring mahalnya harga energi, dan hal ini bisa membuat The Fed menunda pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.
“Saya kira situasi ini membuat The Fed kemungkinan besar akan tetap menahan suku bunga setidaknya hingga pertemuan Desember, agar mereka memiliki waktu yang cukup untuk membaca dinamika inflasi domestik,” ujar Brusuelas.
Sementara itu, analis Bloomberg, Anna Wong dan Tom Orlik, dalam catatannya memproyeksikan bahwa jika harga minyak melonjak hingga menyentuh USD 100 per barel, harga bensin di Amerika Serikat akan meningkat sekitar 17 persen. Harga rata-rata bensin diperkirakan naik dari USD 3,25 menjadi USD 4,20 per galon, yang dapat mendorong inflasi tahunan ke level 3,2 persen pada Juni.
The Fed dijadwalkan menggelar rapat kebijakan pada 17–18 Juni mendatang. Konsensus pasar memperkirakan bank sentral AS akan menahan suku bunga acuan dan merilis proyeksi terbaru arah kebijakan moneter ke depan.
Menurut data pasar futures, ekspektasi pelaku pasar terhadap penurunan suku bunga juga mengalami revisi. Sebelumnya diperkirakan ada 2,1 kali pemangkasan suku bunga masing-masing seperempat poin hingga akhir 2025. Namun kini angka itu turun menjadi sekitar 1,9 kali.
Michael Feroli, Kepala Ekonom AS di JPMorgan Chase & Co., menyatakan kecil kemungkinan The Fed akan menyinggung langsung konflik geopolitik dalam pernyataan resminya.
“Untuk saat ini, kami ragu bahwa situasi di Timur Tengah layak disebutkan,” kata Feroli.
Situasi ini menegaskan betapa eratnya kaitan antara kebijakan moneter dan stabilitas geopolitik global, serta menambah kompleksitas dalam upaya The Fed menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi. (***)