Mantan pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi, mengungkap kronologi lahirnya ketentuan bunga pinjaman online (pinjol) sebesar 0,8% per hari, yang kini menjadi sorotan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketentuan ini, menurutnya, bukan berasal dari regulasi OJK, melainkan hasil inisiatif industri melalui Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dengan referensi dari praktik internasional.
Mantan Pejabat OJK Ungkap Asal Usul Bunga Pinjol 0,8%, Kini Jadi Sorotan KPPU

Hendrikus, yang menjabat sebagai Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK periode 2017–2020, menyebut bahwa awal mula industri fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia dimulai sejak lahirnya Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016.
“Di POJK 77/2016 saat pertama kali diterbitkan, tidak ada ketentuan tentang bunga. Semangatnya adalah pendanaan demokratis. Maka, bunga diserahkan pada mekanisme pasar,” ujar Hendrikus saat ditemui di kawasan Kebun Sirih, Jakarta, Jumat (16/5).
Namun, kebijakan tanpa batas bunga tersebut berujung pada kekacauan. Sejumlah perusahaan fintech menerapkan bunga pinjaman hingga mencapai 10% per hari. OJK pun kebanjiran keluhan masyarakat terkait tingginya bunga dan praktik penagihan yang tidak manusiawi.
Dalam kondisi tersebut, OJK tidak memiliki dasar hukum untuk menetapkan plafon bunga karena tidak diatur dalam POJK 77/2016. Satu-satunya celah hukum saat itu adalah kewajiban penyelenggara P2P lending untuk menjadi anggota asosiasi yang ditunjuk OJK.
“Fintech P2P waktu itu masih di bawah AFTECH, asosiasi umum yang tidak khusus menangani pinjaman online. Akibatnya, industri bergerak liar. Bunga dan akses data dilakukan sesuka hati,” lanjut Hendrikus.
Lahirnya AFPI dan Penetapan Bunga 0,8%
Melihat kondisi tersebut, Hendrikus memerintahkan agar industri membentuk asosiasi khusus. Maka, pada tahun 2018 berdirilah AFPI, yang mendapat mandat pertama dari OJK untuk menetapkan batas bunga pinjaman online.
Berdasarkan kajian yang mengacu pada regulator Inggris, Financial Conduct Authority (FCA), AFPI mengusulkan bunga maksimal 0,8% per hari. Usulan tersebut kemudian disetujui oleh Hendrikus.
“Saya tidak menyebut angka. Saya minta mereka bawa data. Mereka datang dengan referensi dari FCA tahun 2014. Dari situ disepakati 0,8%,” kata Hendrikus.
Menurutnya, angka tersebut merupakan kompromi karena sebelumnya perusahaan pinjol menerapkan bunga yang jauh lebih tinggi. Maka ketika dibatasi di angka maksimal, industri pun kompak menetapkan bunga 0,8% sebagai standar tertinggi.
Namun, kini penyeragaman bunga itu menjadi persoalan. KPPU mencurigai adanya dugaan kartel dalam penetapan bunga tersebut.
KPPU Selidiki Dugaan Kartel Bunga
Dalam keterangan resminya, KPPU menyebut bahwa sebanyak 97 penyelenggara fintech lending terindikasi melakukan kesepakatan eksklusif dalam menentukan bunga harian pinjaman online. Ketentuan yang dibuat AFPI dianggap melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Mereka menetapkan bunga harian tidak boleh melebihi 0,8% flat per hari. Besaran itu kemudian diubah menjadi 0,4% per hari pada 2021,” tulis KPPU dalam siaran persnya.
Rencananya, dugaan pelanggaran tersebut akan disidangkan dalam waktu dekat dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan.
POJK Baru dan Perubahan Paradigma
Seiring berkembangnya industri, POJK 77/2016 dicabut dan digantikan oleh POJK Nomor 10 Tahun 2022. Dalam aturan baru ini, pengaturan bunga pinjaman online tidak lagi diserahkan ke asosiasi, melainkan diatur langsung oleh OJK melalui Surat Edaran.
Pada 8 November 2023, OJK menerbitkan SE OJK Nomor 19 Tahun 2023 yang menetapkan batas bunga pinjol mulai 1 Januari 2024: 0,3% per hari untuk pinjaman konsumtif dan 0,1% untuk pinjaman produktif. Bunga ini direncanakan akan terus diturunkan secara bertahap.
“Saya sudah tidak lagi di OJK ketika POJK 10/2022 terbit. Tapi saya melihat pergeseran paradigma. Kalau sebelumnya semangatnya market conduct, sekarang sudah masuk ke prudential regulation seperti di perbankan,” ungkap Hendrikus.
Penutup
Penetapan bunga pinjaman online sebesar 0,8% oleh AFPI awalnya merupakan langkah merespons kekacauan pasar akibat ketiadaan aturan resmi. Namun, langkah tersebut kini berujung pada dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha. Sidang KPPU dalam waktu dekat akan menjadi ujian penting bagi masa depan industri fintech lending di Indonesia.