Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di industri padat karya pada akhir Februari 2025 yang mencapai 11.000 pekerja dinilai berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Target pertumbuhan sebesar 5,2 persen yang dicanangkan pemerintah diperkirakan sulit tercapai akibat melemahnya daya beli masyarakat.
PHK Massal di Industri Padat Karya Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Daya Beli Melemah, Sektor Konsumsi Terancam
Pengamat pasar modal dan keuangan, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan bahwa gelombang PHK ini akan berdampak signifikan pada daya beli kelas menengah. Melemahnya daya beli masyarakat akan berimbas pada berbagai sektor, termasuk penjualan properti dan kendaraan konvensional.
“Penurunan daya beli ini bisa menjadi indikator melemahnya ekonomi, yang pada akhirnya berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujar Ibrahim kepada kumparan.
Berdasarkan proyeksi Ibrahim, target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir 2025 yang ditetapkan Bank Dunia sebesar 3,3 persen lebih realistis dibandingkan dengan prediksi Kementerian Keuangan yang mencapai 5,2 persen serta proyeksi Bank Indonesia di kisaran 4,7–5,5 persen.
“Bank Dunia lebih memahami kondisi ekonomi global dan domestik secara komprehensif. Jadi, prediksi mereka cenderung lebih akurat dibandingkan dengan lembaga pemerintah,” tambahnya.
Meski begitu, Ibrahim menilai bahwa pada Kuartal I 2025 pemerintah masih dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dengan menyalurkan berbagai insentif. Beberapa kebijakan yang diambil antara lain diskon tiket pesawat dan tarif tol menjelang Idul Fitri. Namun, tanpa adanya hari raya atau momentum ekonomi besar di kuartal berikutnya, pertumbuhan ekonomi berpotensi mengalami penurunan.
Lonjakan PHK Berpotensi Tingkatkan Kriminalitas
Tak hanya berpengaruh terhadap daya beli, lonjakan PHK juga dinilai dapat meningkatkan angka kriminalitas, khususnya di daerah pedesaan. Ibrahim menyoroti bahwa banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan memilih kembali ke kampung halaman, yang dapat menimbulkan masalah sosial baru.
Hal senada diungkapkan oleh ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya, hilangnya pendapatan bagi ribuan keluarga akibat PHK akan berdampak negatif pada konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi nasional.
“Dampak dari PHK massal ini sangat besar. Hilangnya pendapatan akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Yusuf.
Selain itu, Yusuf juga menyoroti potensi peningkatan beban terhadap sistem jaminan sosial, terutama BPJS Ketenagakerjaan dalam program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Banyaknya pekerja yang kehilangan mata pencaharian akan mengandalkan dana dari program jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Dalam kondisi seperti ini, pekerja yang terkena PHK sangat mungkin membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk bertahan hidup,” jelasnya.
Sritex dan Yamaha Tutup Pabrik, Ribuan Pekerja Terkena Dampak
Gelombang PHK besar-besaran ini didominasi oleh industri tekstil. Sritex Group resmi menghentikan operasionalnya per 1 Maret 2025, menyebabkan 10.665 pekerja kehilangan pekerjaan. Berikut rincian angka PHK di beberapa pabrik Sritex Group:
- PT Bitratex Semarang: 1.065 pekerja (Januari 2025)
- PT Sritex Sukoharjo: 8.504 pekerja (26 Februari 2025)
- PT Primayuda Boyolali: 956 pekerja (26 Februari 2025)
- PT Sinar Panja Jaya Semarang: 40 pekerja (26 Februari 2025)
- PT Bitratex Semarang: 104 pekerja (26 Februari 2025)
Selain Sritex, PT Yamaha Music Product Asia dan PT Yamaha Indonesia juga dikabarkan akan menutup dua pabriknya di Indonesia. Pabrik PT Yamaha Music di MM2100 Bekasi dijadwalkan berhenti beroperasi pada akhir Maret 2025. Penutupan pabrik ini diperkirakan berdampak pada 1.100 pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Kesimpulan: Tantangan Berat Bagi Ekonomi Nasional
Dengan meningkatnya jumlah PHK di industri padat karya, tantangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin besar. Jika daya beli terus menurun dan konsumsi domestik melemah, maka target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah bisa sulit dicapai. Para ekonom dan pengamat menyarankan agar pemerintah segera merumuskan kebijakan strategis guna memitigasi dampak dari gelombang PHK ini dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. (***)