Bank Dunia resmi menaikkan ambang batas garis kemiskinan internasional, yang berdampak langsung pada lonjakan jumlah penduduk miskin di Indonesia, menurut laporan terbaru bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform.
Standar Naik, Jumlah Orang Miskin Versi Bank Dunia di Indonesia Melonjak

Kenaikan ini merupakan konsekuensi dari adopsi perhitungan baru Purchasing Power Parity (PPP) 2021, menggantikan acuan sebelumnya yakni PPP 2017. PPP adalah metode pengukuran nilai tukar antarnegara berdasarkan kemampuan daya beli riil suatu mata uang terhadap produk dan jasa yang sama di negara lain, bukan sekadar kurs dolar komersial.
Dalam pembaruan tersebut, Bank Dunia menetapkan nilai tukar PPP terbaru sebesar Rp4.819,78 per dolar PPP. Berdasarkan perhitungan itu, garis kemiskinan internasional naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, atau sekitar Rp14.459,34 per hari per orang.
Artikel Terkait:

Wamensos: 74,51 Persen Penduduk Miskin Hanya Tamat SD
Imbas Langsung: Keluarga dengan Penghasilan di Bawah Rp2 Juta Masuk Kategori Miskin
Dengan asumsi rata-rata rumah tangga miskin memiliki 4,7 anggota keluarga, maka keluarga dengan total penghasilan di bawah Rp2.038.766,94 per bulan kini diklasifikasikan sebagai miskin menurut standar Bank Dunia.
Selain itu, batas garis kemiskinan untuk kategori negara juga ikut naik:
Negara berpenghasilan menengah bawah: dari US$3,65 menjadi US$4,20 per hari.
Negara berpenghasilan menengah atas: dari US$6,85 menjadi US$8,30 per hari.
Adapun sejak 2023, Bank Dunia telah mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas, setelah mencatat Gross National Income (GNI) sebesar US$4.580 per kapita.
Kenaikan standar garis kemiskinan ini tidak mencerminkan penurunan kesejahteraan secara riil, melainkan bentuk penyesuaian agar pengukuran kemiskinan tetap relevan dengan kondisi ekonomi dan inflasi global terkini. Namun demikian, hal ini tetap menjadi tantangan serius bagi pemerintah Indonesia dalam menyusun dan mengevaluasi program pengentasan kemiskinan ke depan.
Pengamat menilai, langkah Bank Dunia ini menuntut penyesuaian kebijakan sosial, terutama dalam menyasar kelompok masyarakat rentan yang sebelumnya tak tercatat sebagai miskin secara statistik, namun kini masuk dalam kategori tersebut berdasarkan standar internasional baru. (***)