Menjelang Hari Raya Idul Adha, masyarakat di berbagai wilayah Jawa Tengah kembali menggelar Tradisi Apitan, sebuah ritual budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun dan dikenal sebagai bentuk syukur atas limpahan hasil bumi.
Tradisi Apitan Jelang Idul Adha di Jawa Tengah: Ungkapan Syukur yang Tuai Pro-Kontra

Tradisi Apitan biasanya dilaksanakan pada bulan Apit dalam penanggalan Jawa—yang bertepatan dengan bulan Dzulqa’dah dalam kalender Hijriyah. Disebut “Apit” karena letaknya di antara dua hari raya besar Islam, yakni Idulfitri dan Idul Adha.
Pelaksanaan tradisi ini beragam di tiap daerah, namun umumnya diisi dengan kegiatan sedekah bumi, yaitu prosesi ritual yang melibatkan persembahan hasil bumi seperti padi, buah-buahan, dan makanan sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Tradisi Apitan adalah warisan leluhur yang menggambarkan keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” ujar Budiyono, seorang tokoh adat dari Kabupaten Kendal. “Ini adalah momentum bersama masyarakat untuk bersyukur atas panen yang telah diterima.”
Namun demikian, pelaksanaan Tradisi Apitan tak luput dari kritik. Sejumlah pihak mempertanyakan nilai kemanfaatannya karena dalam beberapa perayaan, hasil bumi yang telah dihias dan diarak akhirnya dibuang begitu saja atau menjadi perebutan tanpa arah yang jelas.
“Sayang sekali jika hasil pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk konsumsi justru dibuang atau tidak digunakan secara maksimal,” ujar Tri Mulyani, aktivis lingkungan di Semarang. “Perlu ada edukasi agar tradisi ini tetap bisa berlangsung namun lebih ramah lingkungan dan sosial.”
Menanggapi kritik tersebut, sejumlah tokoh masyarakat menyatakan perlunya penyesuaian bentuk pelaksanaan agar nilai-nilai tradisi tetap terjaga tanpa mengabaikan etika dan kemanfaatan.
Pemerintah daerah juga mulai memberikan dukungan dengan mengarahkan kegiatan sedekah bumi agar lebih produktif dan berkelanjutan, seperti dengan menyalurkan hasil bumi ke panti asuhan, dapur umum, atau program bantuan pangan lokal.
Tradisi Apitan tetap menjadi simbol penting dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa Tengah, menandai ikatan budaya yang kuat sekaligus mengingatkan pentingnya rasa syukur. Tantangannya kini adalah bagaimana mempertahankan nilai luhur tersebut sambil tetap relevan dengan kebutuhan dan kesadaran zaman. (***)