Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani aturan baru pada Rabu malam (4/6), yang secara resmi melarang masuknya warga dari 12 negara ke wilayah AS, serta memberlakukan pembatasan parsial bagi tujuh negara lainnya. Kebijakan ini diklaim sebagai langkah untuk menjaga keamanan nasional dan memenuhi janji kampanye.
Aturan Imigrasi Baru Trump: 12 Negara Dilarang Masuk, 7 Dibatasi Parsial

Menurut pernyataan resmi Gedung Putih, kebijakan ini diberlakukan untuk mencegah masuknya “orang asing berbahaya” ke Amerika Serikat. Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Abigail Jackson menyatakan melalui platform X bahwa kebijakan ini “spesifik per negara dan merupakan tindakan perlindungan yang masuk akal.”
Negara yang Dilarang Masuk Secara Penuh
- Afghanistan
- Myanmar
- Chad
- Republik Kongo
- Guinea Khatulistiwa
- Eritrea
- Haiti
- Iran
- Libya
- Somalia
- Sudan
- Yaman
Negara yang Menghadapi Pembatasan Parsial
- Burundi
- Kuba
- Laos
- Sierra Leone
- Togo
- Turkmenistan
- Venezuela
Meski bersifat tegas, aturan ini memberikan pengecualian untuk sejumlah kategori, termasuk penduduk tetap sah (green card holder), anak adopsi, pemegang visa diplomatik, atlet, pemegang visa keluarga dekat, serta individu dengan kepentingan nasional bagi AS. Selain itu, visa kemanusiaan khusus bagi warga Afghanistan tetap diberlakukan.
Seorang pejabat Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya menyebut bahwa serangan antisemit di Colorado pekan lalu menjadi pendorong percepatan pengambilan keputusan. “Serangan itu menjadi momen yang memperjelas urgensi kebijakan ini,” katanya kepada media.
Kebijakan ini mengingatkan publik pada larangan perjalanan kontroversial yang diterapkan Trump pada awal masa jabatan pertamanya tahun 2017, yang sempat menargetkan sejumlah negara mayoritas Muslim dan menuai kritik serta gugatan hukum. Kebijakan tersebut kemudian dicabut oleh Presiden Joe Biden pada awal 2021.
Kini, kurang dari lima bulan sejak dilantik kembali untuk masa jabatan keduanya, Presiden Trump kembali menggunakan pendekatan serupa. Pada hari pertama menjabat, ia telah menandatangani perintah eksekutif yang menginstruksikan para menteri untuk mengevaluasi kelemahan sistem keamanan negara-negara tertentu dalam penyaringan visa.
Langkah terbaru ini diprediksi akan kembali memicu perdebatan sengit di dalam dan luar negeri, terutama terkait isu diskriminasi, hak asasi manusia, serta efektivitasnya dalam mencegah ancaman terhadap keamanan AS. (***)