Rusdimedia.com, Saat ini, permainan judi daring telah menjadi masalah sosial serius, bukan hanya soal hukum. Iklan tersembunyi bermunculan lewat media sosial, influencer, dan bahkan aplikasi yang sering digunakan anak-anak. Akses mudah, pembayaran praktis, dan jebakan yang tersembunyi membuatnya sulit ditangkal. Masyarakat pun bertanya: apa respons pemerintah?
Berbagai langkah telah ditempuh. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) rutin memblokir ribuan situs setiap bulan. Hingga 2 Juni 2025, mereka mencatat telah menutup lebih dari 6,4 juta konten perjudian. Satgas Pemberantasan Judi Online yang terdiri dari lintas lembaga juga dibentuk. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan berat: puluhan situs baru tetap bermunculan. Pelaku yang ditangkap umumnya hanya pemain kecil, sementara dalang utama masih bebas berkeliaran.
Inilah ironi sebuah negara yang diklaim makin maju di bidang teknologi informasi, tapi gagal mendeteksi kejahatan digital sejak awal. Judi online saat ini berdiri di atas ekosistem lengkap: sistem pembayaran tersembunyi, server global, algoritma media sosial, dan literasi digital masyarakat yang minim.
Tanpa penanganan serius, bukannya meredup, judi online—termasuk platform seperti herototo justru akan semakin berkibar. Korbannya bukan hanya masyarakat miskin, pelajar, atau warga kurang berpendidikan. Profesional muda, aparatur negara, dan keluarga rentan ikut terjebak. Ambisi cepat kaya akhirnya membawa utang, krisis rumah tangga, depresi, bahkan bunuh diri.
Pemerintah tidak cukup hanya memblokir situs. Sistem represif perlu dikombinasikan dengan strategi preventif dan edukatif. Literasi digital sejak dini harus difokuskan pada bahaya judi daring, dengan melibatkan sekolah, lembaga keagamaan, dan media sebagai garda depan. Lebih lanjut, penegakan hukum harus menyasar seluruh rantai: penyedia platform, pemroses pembayaran ilegal, dan promotor publikasi situs judi.
Jika tidak ditegakkan secara tuntas, termasuk menutup celah transfer dana melalui e‑wallet atau rekening anonim, perjudian online akan sulit dilumpuhkan. Kolaborasi antarlembaga seperti OJK, Bank Indonesia, Kemkomdigi, kepolisian, dan operator internet sangat diperlukan. Tidak kalah penting, perusahaan teknologi global pun harus dipaksa bertanggung jawab dalam memberantas konten ilegal, termasuk judi online.
Judi daring adalah ancaman nyata bagi masa depan bangsa—menggerogoti produktivitas, merusak tatanan keluarga, dan membuka jalan bagi kejahatan. Jika negara tidak segera bertindak, dampak sosial yang lebih berbahaya hanya tinggal menunggu waktu.
Data di RSJ Menur Surabaya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini: sepanjang tahun 2024 terdapat 68 pasien adiksi judi online, dan hanya di pertengahan Mei–Juni 2025, sudah tercatat 51 kasus baru termasuk remaja usia 14 tahun dan pasien tertua berusia 70 tahun, bahkan seorang perempuan bergaya pun dirawat karena kecanduan.
Di Jawa Timur, Dinas Kominfo mengeluarkan surat edaran kepada kepala daerah se‑Jatim untuk mengambil tindakan antisipatif, dan mengingatkan ASN agar tidak terlibat dalam perjudian online. DPRD Jatim pun berupaya memperkuat Perda Trantib agar mencakup isu ini, meskipun belum ada payung hukum nasional.