Menu

Beranda/Berita/Perebutan Universitas Malahayati, Kisruh Keluarga yang Menjalar ke Jalur Hukum

Perebutan Universitas Malahayati, Kisruh Keluarga yang Menjalar ke Jalur Hukum

(Diperbarui: 9 April 2025)
SW
Sandika Wijaya
Rusdimedia.com
universitas malahayati_11zon

Di balik megahnya kampus Universitas Malahayati, sebuah kisah kelam tengah berlangsung. Konflik berdarah-daging menyeruak ke permukaan: bukan sekadar sengketa biasa, namun pertikaian yang melibatkan ayah, ibu, dan anak kandung. Taruhannya? Nama baik keluarga, legalitas yayasan, dan masa depan institusi pendidikan bergengsi di Lampung.

Kisruh bermula dari perubahan struktur Yayasan Alih Teknologi Bandarlampung (YTBL), badan hukum yang menaungi Universitas Malahayati. Pada 13 Juli 2023, YTBL mengeluarkan Akta Nomor 07 yang kemudian diubah dengan Akta Nomor 08 tertanggal 28 September 2024 di hadapan Notaris Marsita Hartati.

Namun perubahan akta ini dipersoalkan keras oleh pihak Rosnati Syech. Kuasa hukum mereka, Dr. Sopian Sitepu, menyatakan kepada redaksi bahwa akta tersebut diduga dipalsukan, dan kini telah masuk dalam tahap penyidikan di Polresta Bandarlampung.

“Akta itu telah kami laporkan sesuai LP Nomor: LP/B/1601/XI/SPKT/POLRESTA BANDARLAMPUNG/POLDA LAMPUNG. Kini proses hukumnya naik ke tingkat penyidikan sesuai SPDP Nomor: SPDP/354/XI/2024/Reskrim,” ujar Sopian.

Diduga Palsu, Dampaknya Merembet ke Kursi Rektor

Bukan hanya akta yayasan yang dipersoalkan. Sopian juga mengungkap bahwa pengangkatan Rektor Achmad Farich yang dilakukan berdasarkan akta tersebut juga cacat hukum.

“Beliau (Farich) tidak memenuhi syarat karena bertentangan dengan UU dan Pasal 44 Statuta Universitas Malahayati. Selain itu, dia bukan dosen tetap,” kata Sopian dalam keterangan tertulisnya.

Tim investigasi menelusuri Status Universitas Malahayati dan mendapati bahwa salah satu syarat menjadi rektor adalah memiliki status dosen tetap dan memenuhi batas usia tertentu. Jika tuduhan tersebut benar, maka pengangkatan Achmad Farich memang berpotensi melanggar aturan internal kampus.

Status Kepemilikan Tanah Kampus

Pertarungan hukum tak berhenti di akta dan kursi rektor. Persoalan lebih dalam justru mengakar pada status kepemilikan tanah kampus Universitas Malahayati. Di sinilah fakta mengejutkan terungkap.

Menurut dokumen yang diberikan kuasa hukum Rosnati, tanah Universitas Malahayati ternyata bukan milik yayasan (YTBL), melainkan atas nama pribadi dan badan usaha:

  • Rusli Bintang dan Rosnati Syech (sebagai harta bersama),
  • Dr. Muhammad Kadafi (anak kandung),
  • Ruslan Junaidi (anak),
  • PT Junanika Ridha Mandiri (dengan status HGB).

Dengan bukti ini, Sopian menegaskan bahwa Yayasan YTBL tidak punya hak legal atas lahan kampus, sehingga tindakan siapa pun yang masuk atau mengelola tanpa izin pemilik sah adalah melawan hukum.

“Secara hukum agraria, Musa Bintang tak punya hak memasukkan orang lain ke lokasi tersebut tanpa izin dari Rosnati Syech,” tambah Sopian.

Dengan konflik yang mengakar pada tiga titik—akta yayasan, keabsahan rektor, dan hak tanah—tak heran jika pihak keluarga Rosnati Syech kini menjadikan Polresta Bandarlampung sebagai garda terakhir penyelesaian.

Mereka secara terbuka meminta Kapolresta untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen, dan memberikan perlindungan hukum atas hak kepemilikan lahan.

Namun hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan pernyataan resmi terkait progres penanganan kasus ini.

APA YANG DIPERTARUHKAN?

Lebih dari sekadar konflik keluarga, yang dipertaruhkan adalah kredibilitas sebuah institusi pendidikan tinggi, nasib mahasiswa, dan ribuan karyawan yang bergantung hidup pada stabilitas kampus.

Konflik ini menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan dan kepemilikan dalam institusi pendidikan bisa berubah menjadi sengketa personal bila tak dikelola dengan mekanisme hukum dan akuntabilitas yang jelas.

Universitas Malahayati selama ini dikenal sebagai salah satu kampus ternama di Lampung. Namun kini, nama besar itu terancam tercoreng oleh konflik internal yang tidak hanya menyangkut etika dan integritas, tapi juga dugaan pelanggaran hukum serius. (***)

Bagaimana reaksi Anda?

Tinggalkan Komentar