Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar AS, ditutup melemah 44 poin atau 0,27% ke level Rp16.611,5 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Tren depresiasi ini selaras dengan sentimen global dan domestik yang semakin membebani pasar keuangan Indonesia.
Rupiah Terdepresiasi ke Rp16.611/USD, Tertekan Sentimen Global dan Domestik

Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia mencatat pelemahan rupiah yang lebih dalam, mencapai Rp16.622/USD dibanding sesi sebelumnya di Rp16.561. Melemahnya nilai tukar rupiah ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan global serta ketidakpastian kebijakan moneter AS.
Faktor Eksternal Tekan Rupiah
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, menyebut bahwa salah satu penyebab utama depresiasi rupiah adalah meningkatnya kekhawatiran ekonomi akibat kebijakan perdagangan AS yang lebih proteksionis. Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan rencana penerapan tarif mobil dalam waktu dekat, yang berpotensi memicu ketidakpastian lebih lanjut di pasar global.
Artikel Terkait:
“Selain itu, kehati-hatian Federal Reserve dalam memangkas suku bunga turut menahan sentimen bearish terhadap dolar AS. Namun, penerapan tarif AS pada 2 April mendatang mendorong pelaku pasar untuk mempertimbangkan ulang strategi perdagangan jangka pendek mereka terhadap USD,” tulis Ibrahim dalam risetnya.
Meski demikian, laporan media menyebutkan bahwa pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan pendekatan yang lebih selektif dalam penerapan tarif timbal balik. Kebijakan ini akan lebih difokuskan pada negara-negara yang memiliki ketidakseimbangan perdagangan signifikan dengan AS, alih-alih menerapkan tarif secara luas di seluruh industri.
Sentimen Global dan Domestik Mempengaruhi Prospek Ekonomi
Selain dampak dari kebijakan perdagangan AS, investor juga terus memantau perkembangan negosiasi antara AS dan Rusia terkait perang di Ukraina. Pejabat dari kedua negara mengakhiri pembicaraan satu hari pada Senin kemarin, membahas kemungkinan gencatan senjata di perairan antara Kyiv dan Moskow. Washington berharap langkah ini bisa menjadi awal bagi negosiasi perdamaian yang lebih luas.
Dari dalam negeri, kondisi ekonomi Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Ibrahim menyoroti bahwa tren proteksionisme yang semakin kuat di negara-negara maju, serta berbagai faktor domestik yang tidak kondusif, akan menyulitkan perekonomian Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan di atas 5%.
Pemerintah sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% pada 2025, namun kini diprediksi hanya mencapai 4,9%. Bahkan, proyeksi pertumbuhan 2026 juga direvisi turun dari 5,15% menjadi 4,9%.
Penurunan ini mencerminkan prospek investasi yang lebih lemah serta meningkatnya risiko perdagangan akibat kebijakan tarif Presiden Trump. Sektor industri padat karya, seperti tekstil, juga mengalami tekanan besar akibat arus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melemahkan daya beli masyarakat.
Dampak Kebijakan Fiskal dan Prediksi Rupiah ke Depan
Ketidakpastian politik yang menyertai transisi kepemimpinan di Indonesia dan AS turut memperburuk situasi. Sentimen negatif semakin menguat seiring dengan kekhawatiran pasar terhadap inisiatif fiskal ekspansif Presiden Prabowo Subianto.
Kebijakan ini telah menyebabkan pemotongan anggaran di sektor-sektor strategis seperti pendidikan dan pekerjaan umum, yang berdampak pada menurunnya kepercayaan investor.
Bank Indonesia telah berupaya menstabilkan rupiah melalui intervensi di pasar valuta asing dan obligasi, termasuk di Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Namun, langkah ini belum mampu mengurangi tekanan jual terhadap rupiah. Indeks saham domestik juga terus mengalami penurunan tajam sepanjang bulan ini akibat ketidakpastian ekonomi.
Berdasarkan data terbaru, rupiah diperkirakan akan terus bergerak fluktuatif dalam rentang Rp16.610 hingga Rp16.660 per dolar AS pada perdagangan selanjutnya. Pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap dinamika global dan kebijakan ekonomi domestik yang bisa mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah ke depan. (***)