Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah menunda pelaksanaan kebijakan kenaikan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang mulai berlaku hari ini. Kenaikan tarif ini dinilai semakin menekan industri sawit nasional yang kini sudah dibebani berbagai pungutan dan menghadapi tantangan global.
GAPKI Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor CPO

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, mengungkapkan bahwa beban ekspor minyak sawit Indonesia saat ini sudah cukup tinggi. Sebelum kenaikan, ekspor minyak sawit dikenakan tiga jenis beban, yaitu Domestic Market Obligation (DMO), Pungutan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK) dengan total beban mencapai USD 221 per metrik ton.
“Untuk kenaikan ini, kita belum menghitung berapa total bebannya. Tapi yang jelas, dengan tambahan ini, beban ekspor kita makin berat,” ujar Eddy kepada kumparan, Sabtu (17/5).
Menurut Eddy, tambahan pungutan ini dapat merugikan daya saing produk sawit Indonesia di pasar internasional, khususnya terhadap Malaysia yang merupakan pesaing utama. Selain itu, dampak lanjutan dari kebijakan ini juga berpotensi menurunkan harga tandan buah segar (TBS) petani di tingkat domestik.
“Di satu sisi harga ekspor CPO kita naik, tapi di dalam negeri harga minyak sawit justru turun. Petani yang paling terdampak. Ini bukan waktu yang tepat,” kata Eddy.
Eddy juga menyoroti kondisi pasar global yang saat ini sedang tidak menguntungkan. Ia menyebutkan berbagai tekanan seperti kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat (dikenal dengan istilah “tarif Trump”), serta ketegangan geopolitik antara India dan Pakistan, yang merupakan importir CPO terbesar kedua dan ketiga dunia.
“Dengan kondisi global yang tidak stabil, sebaiknya pemerintah menunda dulu kenaikan PE ini sampai situasinya lebih kondusif,” lanjutnya.
Kebijakan Resmi Pemerintah
Kementerian Keuangan melalui Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) secara resmi menaikkan tarif pungutan ekspor CPO dari sebelumnya 7,5 persen menjadi 10 persen. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan BLU BPDP pada Kementerian Keuangan.
Peraturan ini ditetapkan pada 5 Mei 2025 dan diundangkan pada 14 Mei 2025. Sesuai ketentuan dalam Pasal 14, beleid tersebut berlaku tiga hari setelah diundangkan, yakni mulai Jumat (17/5).
Kebijakan ini disebut-sebut bertujuan untuk memperkuat pendanaan BPDP dalam mendukung pengembangan industri kelapa sawit nasional, termasuk program biodiesel dan peremajaan sawit rakyat. Namun, kalangan pengusaha menilai penerapannya di tengah situasi pasar yang tidak menentu justru bisa memukul sektor hilir dan petani sawit kecil.
Seruan Evaluasi dan Dialog
GAPKI mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan ini dan membuka ruang dialog bersama pelaku industri guna mencari solusi terbaik. Menurut Eddy, koordinasi lintas sektor sangat dibutuhkan agar keputusan pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek fiskal, tetapi juga dampaknya terhadap industri dan masyarakat yang bergantung pada sawit.
“Kami tidak menolak pungutan atau kontribusi, tapi tolong dilihat timing-nya. Industri ini sedang menghadapi tantangan berat, kalau dipaksa seperti ini, yang rugi bukan hanya pengusaha, tapi juga jutaan petani sawit di Indonesia,” tegasnya.
Sektor kelapa sawit merupakan salah satu tulang punggung ekspor nonmigas Indonesia dengan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah. Namun, ketidakpastian regulasi dan beban pungutan yang terus meningkat dinilai bisa melemahkan daya saing Indonesia dalam jangka panjang. (***)