Suara dari timur Indonesia menggema keras di tengah kemegahan Indonesia Critical Minerals Conference 2025 yang berlangsung di Jakarta. Empat anak muda asal Raja Ampat bersama aktivis Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai, menyuarakan bahaya laten di balik industri nikel yang dinilai merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal.
Greenpeace dan Anak Muda Papua Suarakan Derita Tambang Nikel di Tengah Konferensi Mineral Nasional

Aksi tersebut terjadi ketika Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno tengah menyampaikan pidato. Para aktivis membentangkan spanduk bertuliskan pesan-pesan keras: “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining.”
Menurut rilis resmi Greenpeace, aksi ini ditujukan untuk mengetuk nurani pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat luas. Di balik narasi besar soal pembangunan dan transisi energi, mereka mengingatkan adanya penderitaan yang kerap luput dari perhatian.
“Saat pemerintah dan oligarki tambang sibuk merancang masa depan industri nikel, masyarakat dan alam kita sudah membayar harga yang sangat mahal,” tegas Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menyoroti bahwa aktivitas penambangan nikel telah merambah beberapa pulau kecil di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Padahal, wilayah-wilayah tersebut secara hukum seharusnya dilindungi dari eksploitasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah dibabat demi kepentingan tambang nikel di ketiga pulau tersebut. Dampaknya, ekosistem rusak, sumber air tercemar, dan kehidupan masyarakat adat terganggu.
Raja Ampat sendiri merupakan salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Lautnya menjadi habitat bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratannya menyimpan 47 spesies mamalia dan 274 jenis burung. Atas kekayaan ekologisnya, Raja Ampat telah ditetapkan sebagai global geopark oleh UNESCO.
Tambang nikel, menurut Greenpeace, bukan hanya menyisakan kerusakan ekologis, tetapi juga memperburuk krisis iklim. Sebagian besar operasional tambang masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive yang menghasilkan emisi karbon tinggi.
Aksi ini menjadi penanda bahwa di tengah gempita investasi dan hilirisasi mineral, suara-suara dari akar rumput menuntut agar pembangunan tak melupakan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan berkelanjutan. (***)