Prancis mendesak Uni Eropa untuk mengambil langkah nyata dalam menekan Israel agar menyetujui solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan keluar atas konflik berkepanjangan dengan Palestina. Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, dalam konferensi tingkat menteri di Kantor PBB, New York, yang membahas upaya diplomatik penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Barrot menegaskan bahwa meskipun ada konsensus internasional terkait urgensi penyelesaian politik atas konflik tersebut, negara-negara besar dunia harus menunjukkan komitmen nyata melalui tindakan konkret.
“Komisi Eropa, atas nama Uni Eropa, harus menyampaikan harapannya dan menunjukkan cara-cara yang dapat kami lakukan untuk mendorong pemerintah Israel mendengarkan permohonan ini,” ujar Barrot dalam pernyataannya kepada wartawan, dikutip dari Associated Press.
Konferensi yang diprakarsai oleh Prancis dan Arab Saudi itu dihadiri oleh perwakilan dari 125 negara, termasuk 50 menteri luar negeri. Awalnya direncanakan berlangsung pada bulan Juni dengan status konferensi tingkat tinggi, acara tersebut akhirnya digelar sebagai pertemuan tingkat menteri karena penundaan dan penolakan partisipasi dari Israel dan Amerika Serikat.
Minta Blokade Dicabut dan Bantuan Diteruskan
Dalam forum tersebut, Barrot juga menyerukan kepada Komisi Eropa agar menekan Israel mencabut blokade keuangan sebesar EUR 2 miliar (sekitar Rp 37,9 triliun) yang menurutnya merupakan kewajiban Israel kepada Otoritas Palestina. Ia juga meminta penghentian pembangunan permukiman ilegal di wilayah Tepi Barat yang dinilai mengancam keutuhan masa depan negara Palestina.
Lebih lanjut, Barrot mengkritik sistem distribusi makanan termiliterisasi di Gaza yang didukung oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza dan Israel, menyebutnya sebagai bentuk kendali atas bantuan kemanusiaan yang tidak manusiawi.
Komisaris Eropa untuk Mediterania, Dubravka Suica, menyampaikan bahwa Uni Eropa tengah mempertimbangkan sanksi baru terhadap Israel. Ia juga menekankan pentingnya Israel segera membayar dana yang terutang kepada Palestina dan membuka akses bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza.
“Kami menjaga Otoritas Palestina dari kebangkrutan finansial,” tegas Suica. Ia menambahkan bahwa Uni Eropa telah mengalokasikan bantuan sebesar EUR 161,6 miliar (sekitar Rp 3.000 triliun) untuk mendukung Palestina selama tiga tahun ke depan.
Palestina Serukan Pengakuan Negara
Dalam pembukaan konferensi, Perdana Menteri Palestina Mohammed Mustafa menyerukan kepada seluruh negara yang belum mengakui Palestina untuk segera melakukannya tanpa penundaan.
“Jalan menuju perdamaian dimulai dengan mengakui negara Palestina dan menjaganya dari kehancuran,” kata Mustafa, menegaskan bahwa pengakuan internasional merupakan langkah awal menuju penyelesaian konflik.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menekankan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel hanya dapat terjadi jika ada komitmen nyata terhadap pembentukan negara Palestina.
Peran Amerika Serikat dan Respons Israel
Baik Barrot maupun Farhan mengakui bahwa Amerika Serikat tetap menjadi aktor kunci dalam dinamika konflik di Timur Tengah. Mereka menyinggung keterlibatan mantan Presiden Donald Trump yang pernah mengamankan gencatan senjata pada Januari lalu.
“Saya sangat yakin bahwa keterlibatan Trump dapat menjadi katalisator untuk segera menghentikan krisis di Gaza dan berpotensi menjadi resolusi konflik Israel-Palestina untuk jangka panjang,” ujar Farhan.
Namun, Israel dan Amerika Serikat tidak menghadiri konferensi tersebut. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka menolak solusi dua negara dengan alasan kepentingan keamanan nasional. Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyebut konferensi tersebut tidak produktif dan tidak tepat waktu.
“AS tidak akan berpartisipasi dalam penghinaan ini, tapi akan terus memimpin upaya nyata untuk mengakhiri pertempuran dan mewujudkan perdamaian abadi,” kata Bruce. Ia menegaskan bahwa fokus Washington tetap pada diplomasi yang serius, bukan forum internasional yang hanya bersifat simbolis.
Konferensi tingkat menteri ini menjadi salah satu upaya diplomatik besar yang kembali menghidupkan harapan akan solusi damai antara Israel dan Palestina. Namun tanpa keterlibatan langsung dari kedua pihak utama dan dukungan penuh dari negara-negara besar, jalan menuju perdamaian masih tampak panjang dan penuh tantangan. (***)